Prolog: Ditulis pada April 2007, pemilik blog ini mencoba memaparkan budaya ngopi yang ada di Gresik, bagaimana nyangkruk di warkop dengan secangkir kopi bisa berjam-jam lamanya sembari ngobrolin topik yang lagi hangat-hangatnya jadi pembahasan baik isu lokal hingga global. Sehingga tidak mengherankan kalau Gresik juga mendapat julukan "kota sejuta warkop", dimana Anda akan menjumpai deretan warkop yang hanya dipisahkan oleh beberapa meter saja. So bagaimana kelanjutan pembahasan budaya ngopi di Gresik? ikuti saja tulisan lengkapnya dibawah ini!

Buka spoiler untuk baca selengkapnya....
Nggak ada hubungan dengan pesan moral, kopi paste, bajak membajak apalagi mbajak pesawat, enggak! tapi ngomongin kebiasaan, lifestyle, gaya hidup, atau entahlah, bisa dibilang sudah budaya, budaya kota santri yang nggak melulu ngaji, tapi budaya nongkrong di warung kopi.
Kalo di kota gede mungkin namanya jadi dugem, clubbing atau apalah istilah gawul lainnya (halah sok tahu!, ya kalo saya sudah terlalu tua untuk mengingat kosa kata yang beginian) tapi berhubung bukan kota gede, kota kecil sekecil nGgresik yang bupatinya kyai itu, jadilah namanya cukup dengan ngopi di warung kopi. ya, hanya minum secangkir kopi panas aseli dan nongkrong yang nggak kompromi karena harga kopi yang seribu, nongkrongnya bisa jam-jaman, sampai ada istilah kopi parkir karena ditinggal pemiliknya “Mas, saya titip kopinya, saya tinggal dulu mas, soalnya masih ada perlu”, padahal kopinya amblas separo, jadinya banyak cangkir berjajar layaknya parkiran. Nggak ngerti juga begitu si pemilik balik kok nggak ketukar dgn tetangganya. Oalah ada-ada saja untung nggak kena biaya parkir berlangganan.
Enggak muda enggak juga kaum tuwir, sss…ssttt ada juga yang berseragam PNS, pegawai swasta sampai pegawai BUMN pun semuanya suka nongkrong di siang bolong, ya apalagi kalo nggak jam kerja yang dicolong, nyesep rokok dan nyruput wedang kopi aseli, dan juga suguhan ringan lainnya, membuat pengopi ini jadi lemes, walhasil cangkem nggames, ngobrolin apa saja yang lagi hangat dinegeri ini, dari pejabat yang korupsi, transaksi jual beli kelas teri hingga tinggi, intelek yang suka membodohi, kyai yang suka menghakimi, sampai kawin cerai balik lagi, sehangat kopi cangkir dan sebungkus rokok, tentu merokok yang islami dan dilakukan berjama’ah karena semua penongkrong di tempat ini adalah perokok sejati.
Aku? hanyalah korban budaya warisan, dan anehnya jadi korban yang keenakan, pertama nongkrong di tempat ini sewaktu es-em-a, belajar ngopi dan ngerokok pertama kali sampai batuk-batuk ngeklek 3 hari, lha kok sekarang disuruh istri berhenti, kan sayang belajarnya dulu mati-matian, bertaruh nyawa berlumuran darah, soalnya takut ketahuan orang tua.
Apa sih enaknya? lha kan begaya hidup mapan, kan kerjaannya cuman nongkrong. Cari aja warung kopi yang empunya warung berlangganan koran berbagai media, tinggal pesen kopi biasa, kopi susu, kopi yang gendosnya (baca: ampas kopi) diatas kan normalnya dibawah, terus baca koran gratis, tipi gratis dan yang penting bisa ngutang tapi yang ini nggak gratis. Kadang janjian sama teman sering dilakukan disini tentunya bukan dgn mantan do’i, jaga gengsi je..!, banyakan di mek-di.
Nah lha wong namannya warung kopinya wong cilik mas, kalo nggak bisa diutang tentu nggak laku, beda sama dugem, clubbing-nya orang kota, bukan kopi bergendos lagi, tapi sudah de’ excelso dan cappucino yang nggak bisa diutang. lha ini kan kopi aseli hasil deplokannya si mbok!.
#sumber : https://gresik.wordpress.com/2007/04/03/budaya-ngopi/
Comments 0